Saya
cukup tergelitik dan mesem mesem dengan satu adegan film nya Haji Rhoma Irama. Ceritanya beliau singgah ke masjid
menjelang waktu sholat dan bertemu dengan pengurus masjid yang diperankan Haji Komar. Beliau sempat menanyakan perihal beduk yang ditutup
dengan kain terpal terkesan tidak dipakai lagi, pengurus masjid itu menjelaskan
bahwa beduk itu memang tidak dipakai lagi karena kata pak Kyai “itu Bid’ah,
Nabi tak pernah pakai beduk”.
Rhoma
tak berkomentar apapun, tapi jadi benar benar menarik ketika Haji Komar
yang siap siap mengumandangkan azan menggunakan speaker, tiba tiba dimatikan
oleh Haji Rhoma. Haji Komar Protes “kok dimatikan ?” lalu dijawab dengan
meminjam kalimat Haji Komar sendiri “ini Bid’ah, Nabi tidak pernah pakai
Speaker”.
Seputar
Pengaturan Pengeras Suara di Masjid sempat menjadi topik panas gara gara Pidato
Wapres tentang Pengaturan Azan saat membuka muktamat DMI 27 April tahun
2012 yang lalu. Serangkaian kontroversi merebak beberapa pihak mengkhawatirkan Usulan
Wapres Soal Pengaturan Azan tersebut akan Pancing Konflik Horizontal yang
lainnya berpendapat bahwa Soal
Pengeras Suara di Masjid, Biar Masyarakat Mengatur sedangkan imam masjid
Istiqlal dengan pedas mengatakan Soal
Azan Wapres, 'Kalau tak Ingin Hidup Pluralistik, Tinggal di Hutan'.
Harap
maklum sajalah bila pernyataan Pak Boed bahwa Pengeras
Suara Azan Perlu Diatur itu kemudian menuai kontroversi, mengingat posisi beliau
yang wapres. Kalaulah yang bicara seperti itu hanya sekelas rakyat biasa tidak
akan menuai reaksi seperti itu, paling paling nyaris dikeroyok masa seperti
yang terjadi pada Sayed
Hasan, warga Aceh yang nyaris di hajar masa gara gara Gugat
Pengeras Suara Adzan.
Untuk
saya pribadi Pengaturan
Penggunaan Mikropon Masjid Perlu Diperhatikan, apalagi sebenarnya
pemerintah melalui Dirjen Bimas Islam di tahun 1978 sudah pernah menerbitkan Tuntunan
Penggunaan Pengeras Suara Di Masjid, Langgar Dan Mushalla, sayangnya kurang
disosialisasikan dengan baik.
Tata
suara masjid memang lebih banyak menjadi urusan penting gak penting bahkan terabaikan
di masyarakat kita, jangankan mengurusi hal itu, untuk membangun masjidnya pun butuh
waktu bertahun tahun untuk menyelesaikannya karena kekurangan dana. Rasanya masih
menjadi mimpi yang teramat panjang bila mengharapkan masjid masjid kita
memiliki tata suara yang sangat baik seperti Fitur
Akustik Masjid Salman ITB hingga suara khatib terdengar begitu nyaman ditelinga
jemaah paling belakang sekalipun.
Apalagi
untuk seperti tata suara di masjid masjid besar dan tua Turki yang akustiknya
dirancang dengan cermat bersamaan dengan rancang bangun masjidnya secara
keseluruhan, hingga suara robekan kertas di ruang mihrab akan terdengar dengan
jelas hingga jemaah di jejeran paling belakang tanpa perlu pengeras suara. Saking
rumitnya rancangan bangunan masjid di Turki sampai sampai kesalahan perombakan
interior-nya berakibat rusak fitur sistem tata suara alami-nya, seperti
rusaknya fitur akustik pada masjid Sulaimaniyah.
Suka
atau tidak bila kita berkeliling ke berbagai masjid di tanah air, kadang kala
sempat terkaget kaget juga dengan suara speaker di dalam masjid yang di seting
dalam volume teramat tinggi mirip tabligh akbar saat khutbah Jum’at. Bagus memang, karena suara berisik anak anak
kecil sampai nyaris tak terdengar sama sekali tertindih kerasnya suara khatib
dari speaker, hanya saja rasanya benar benar menjadi tidak nyaman ditelinga.
Belum
lagi bila kita perhatikan dengan baik bahwa sistem tata suara di dalam
kebanyakan masjid masjid kita memang perlu penataan dengan baik, bukan sekedar
terdengar keras dan lantang tapi lebih daripada itu, tujuan penggunaan pengeras
suara adalah supaya suara khatib ataupun muazin terdengar dengan baik oleh jema’ah.
Di
kampung kami di Cikarang, di beberapa masjid, speaker malah menjadi perangkat
yang tidak penting saat sholat berjama’ah kecuali sholat Jum’at, karena imamnya
sama sekali tidak menggunakan speaker, jangan kaget bila kemudian anda harus
mengikuti jemaah disebelah anda karena suara imamnya yang nyaris tak terdengar.
Tradisinya memang begitu.
Suara
azan memang harus disuarakan dengan keras dan lantang, namanya juga azan toh. Yang
harus pelan dan khusu’ itu berdoa. Hanya saja memang jadi benar benar
mengganggu bila suara muazin nya tak layak tayang. Pengurus masjid memang harus
bijaksana memilah hal mana yang layak untuk disuarakan dengan speaker luar
masjid dan mana yang hanya cukup disuarakan di dalam masjid.
Azan,
tidak saja menyuarakan panggilan sholat kepada ummat tapi juga
merefresentasikan kemahiran muazin melantunkannya, kebijaksanaan DKM dalam
memilih muazin. Dan kita juga harus faham bahwa hanya sedikit saja masjid di
tanah air kita ini yang memiliki manajemen professional. Sisanya adalah masjid
masjid yang dibangun dan dikelola sendiri oleh masyarakat, Muazin, Imam hingga
khatibnya juga dari masyarakat sendiri, sehingga butuh ke-arifan dan
kebijaksanaan lebih manakala membicarakan pengaturan tentang speaker masjid
yang memang penting gak penting.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
hindari komentar yang berbau SARA