Wacana RUU pornografi yang semula bernama RUU-Anti pornografi dan anti pornoaksi (RUU-APP) bergulir kian kencang, dukungan dan penolakan dari beragam elemen masyarakat pun terus bergulir. Tak tanggung tanggung pejabat setingkat kepala propinsi pun turut menyemarakkan wacana ini. Tak dapat dipungkiri bahwa kita tidak akan menemukan fenomena seperti ini di era pemerintahan yang lalu [era sebelum reformasi] manakala semua-nya terkendali dari tampuk kekuasaan. Apakah ini hanya sebuah euporia kebebeasan ?
Dua kelompok masyarakat kini saling berhadapan diantara yang menginginkan RUU disyahkan menjadi UU dan kelompok yang samasekali tidak menginginkan RUU tersebut disyahkan karena dianggap tidak perlu dan beragam alasan lain-nya. Terlepas dari motif penolakan dan dukungan terhadap pengesahan RUU tersebut kita semua rakyat Indonesia patut bersyukur bahwa kita kini dapat menikmati suasana kebebasan mengemukaan pendapat dan fikiran tanpa takut akan tindakan refersif dari pemerintah. Suasana kondusif inilah yang harus senantiasa dijaga kelestariannya di Republik tercinta ini.
Kita semua sadar bahwa tidak mungkin satu produk hukum apapun yang dibuat akan dapat memuaskan semua kalangan. Karena memang aturan tidak dibuat untuk memuaskan semua pihak tapi dibuat dengan landasan pemikiran bagi kepentingan dan kemaslahatan bersama. Penolakan dan dukungan terhadap rancangan produk hukum adalah hal yang wajar, namun manakala diputuskan produk tersebut jadi diundangkan atau batal di undangkan adalah menjadi kewajiban semua pihak untuk mentaati ketetapan yang sudah diputuskan. Ketidaksetujuan terhadap suatu produk hukum yang mengikat tidak lantas membuat kita boleh melanggarnya. Itulah salah satu dari esensi demokrasi.
Memang akan sangat sulit menyatukan dua keinginan yang bertolak belakang, mengambil jalan tengah diantara keduanya juga bisa jadi malah menghasilkan keputusan yang ditolak oleh kedua belah pihak. Pada ahirnya keputusan berada di tangan wakil wakil kita yang kini duduk di parlemen bersama sama dengan pemerintah. Dengan semangat kebangsaan sepatutnya kita semua harus legowo untuk menerima dan melaksanakan apapun hasilnya setelah memberikan semua aspirasi terbaik kepada mereka.
Kita semua bebas mengekpresikan kebebasan kita menikmati iklim kemerdekaan bersuara yang sudah 10 tahun ini kita nikmati tapi satu hal yang harus kita camkan dalam hati bahwa kebebasan kita terbatasi oleh kebebesan individu yang lain untuk menikmati kebebasannya.
Semoga ramainya perdebatan seputar “RUU Panas” yang satu ini bukan sekedar euporia kebebasan tapi suatu penanda semakin akrabnya persaudaraan sesama warga negara yang menginginkan segala yang terbaik bagi negaranya.
Cikarang, 7 Oktober 2008
Dua kelompok masyarakat kini saling berhadapan diantara yang menginginkan RUU disyahkan menjadi UU dan kelompok yang samasekali tidak menginginkan RUU tersebut disyahkan karena dianggap tidak perlu dan beragam alasan lain-nya. Terlepas dari motif penolakan dan dukungan terhadap pengesahan RUU tersebut kita semua rakyat Indonesia patut bersyukur bahwa kita kini dapat menikmati suasana kebebasan mengemukaan pendapat dan fikiran tanpa takut akan tindakan refersif dari pemerintah. Suasana kondusif inilah yang harus senantiasa dijaga kelestariannya di Republik tercinta ini.
Kita semua sadar bahwa tidak mungkin satu produk hukum apapun yang dibuat akan dapat memuaskan semua kalangan. Karena memang aturan tidak dibuat untuk memuaskan semua pihak tapi dibuat dengan landasan pemikiran bagi kepentingan dan kemaslahatan bersama. Penolakan dan dukungan terhadap rancangan produk hukum adalah hal yang wajar, namun manakala diputuskan produk tersebut jadi diundangkan atau batal di undangkan adalah menjadi kewajiban semua pihak untuk mentaati ketetapan yang sudah diputuskan. Ketidaksetujuan terhadap suatu produk hukum yang mengikat tidak lantas membuat kita boleh melanggarnya. Itulah salah satu dari esensi demokrasi.
Memang akan sangat sulit menyatukan dua keinginan yang bertolak belakang, mengambil jalan tengah diantara keduanya juga bisa jadi malah menghasilkan keputusan yang ditolak oleh kedua belah pihak. Pada ahirnya keputusan berada di tangan wakil wakil kita yang kini duduk di parlemen bersama sama dengan pemerintah. Dengan semangat kebangsaan sepatutnya kita semua harus legowo untuk menerima dan melaksanakan apapun hasilnya setelah memberikan semua aspirasi terbaik kepada mereka.
Kita semua bebas mengekpresikan kebebasan kita menikmati iklim kemerdekaan bersuara yang sudah 10 tahun ini kita nikmati tapi satu hal yang harus kita camkan dalam hati bahwa kebebasan kita terbatasi oleh kebebesan individu yang lain untuk menikmati kebebasannya.
Semoga ramainya perdebatan seputar “RUU Panas” yang satu ini bukan sekedar euporia kebebasan tapi suatu penanda semakin akrabnya persaudaraan sesama warga negara yang menginginkan segala yang terbaik bagi negaranya.
Cikarang, 7 Oktober 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
hindari komentar yang berbau SARA