Rabu, 15 Mei 2013

Masjid Jamie’ Al-Falah, Kaum Tanjungpura - Karawang

Masjid Jamie' Al-Falah


Sore menjelang magrib singgah ke masjid ini sempat pangling dengan alunan ayat suci Al-Qur’an yang mengalun syhadu dari pengeras suara di atap masjid. Awalnya sempat mengira itu suara dari rekaman semacam MP3 atau sejenisnya, seperti yang banyak dilakukan pengurus masjid masjid lainnya menjelang waktu sholat sebelum tiba waktunya azan.

dari arah pintu selatan yang menghadap ke jalan raya
Dugaanku salah total, lantunan itu dibaca live oleh salah seorang jemaah yang duduk bersila khusu’ sendirian di tengah masjid beberapa meter dari mihrab. Pantas saja kalimat penutup “sodaqollahul azim” nya pas di ujung ayat dengan irama penutup bukan tiba tiba berhenti dan / atau kemudian ditutup dengan kalimat itu dengan suara yang lain. Beliau juga yang kemudian melantunkan azan dan iqomah.

Masjid Jamie' Al-Falah dari arah gerbang
Menariknya lagi yang kemudian maju menjadi imam sholat magribnya juga masih muda jauh lebih muda dari jemaah yang tadi mengaji. Sangat menarik. Satu hal yang sepertinya juga menjadi kebiasaan di masjid ini adalah pelaksanaan sholat berjamaah magribnya tidak menggunakan pengeras suara. Mungkin kebiasaan yang datang dari jumlah jemaah yang tak terlalu banyak sampai membludak.

Lokasi dan Alamat Masjid Al-Falah Tanjungpura

Lokasi Masjid ini sangat mudah untuk ditemukan, setelah melewati jembatan Sungai Citarum yang menjadi perbatasan kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang, di sisi kiri jalan dari arah Cikarang, atap limas bersusun masjid ini sudah terlihat dari arah jalan raya. Cukup maju sedikit sampai jalan menurunnya habis putar balik masuk ke jalan beton yang melintas di depan masjid ini. Berikut alamat lengkapnya.

Masjid Jamie’ Al-Falah Tanjungpura
Jl. Raya Pangkal Perjuangan Km.05 RT.07/05 Kaum Tanjungpura
Kelurahan Tanjung Mekar. Kecamatan Karawang Barat.
Kabupaten Karawang 41316





Jemaah magrib kali itu sekitar 3 shap pria (entah jemaah wanitanya). Suara imam tentunya masih dapat terdengar dengan jelas hingga ke telinga jemaah di shap paling belakang. Jemaah yang ada kebanyakan merupakan warga sekitar dan seperti nya hanya aku dan putra kecil ku yang menjadi jemaah singgah kali itu. menyusul kemudian istriku setelah aku menggantikannya menggendong si kecil.

bangunan utama masjid Jamie' Al-Falah dari arah pendopo di belakang bangunan utama
Bangunan utama masjidnya tidak terlalu besar. Dilengkapi dengan teras di tiga sisinya, teras yang cukup lapang. Ditambah lagi dengan bangunan pendopo di sisi belakang. Ukuran bangunan pendoponya sendiri sedikit lebih besar dari bangunan utama masjidnya. Bangunan utama masjid ini dibagi dua. Sebagian besar disisi depan dibawah atap utamanya disediakan untuk jemaah pria dan khusus untuk jemaah wanita ditempatkan di sisi belakang dengan partisi kayu yang dapat dipindahkan.

tiga susun atap
Struktur atap masjidnya seperti kebanyakan masjid masjid tradisional Indonesia berupa atap limas bersusun tiga mengunakan genteng. Ada empat sokoguru bundar didalam masjid menopang struktur atapnya. Menariknya pada sisi bawah ke empat sokoguru ini di hias dengan keramik bergambar bunga yang sepertinya sudah berusia cukup tua. Ornamen yang mengingatkan pada masjid dan makam keluarga kesulanan di Cirebon.

keramik antik di sokoguru
Pasokan air bersihnya lancer, area tempat wudhu berada di sisi kiri gerbang masuk. Hanya saja memang agak bermasalah untuk parkir kendaraan roda empat. Area parkirnya hanya cukup untuk beberapa kendaraan roda dua. Untuk kendaraan roda empat dengan terpaksa harus parkir di luar pagar di sisi jalan.***

pendopo masjid jamie' Al-Falah
teras utara dari arah pendopo
Asik bermain bola jelang magrib
interior masjid dengan empat soko guru
Panorama Masjid Al-falah
Dari Jembatan Kali Citarum
Dari ujung jembatan kali Citarum

------------------------

Baca Juga


Selasa, 14 Mei 2013

Yang Manakah Masjid Tertua di Bumi ?

Dua Masjid Tertua di Bumi. Masjidil Haram di kota Makah Al-Mukarromah, Saudi Arabia dan Masjidil Aqso di kota Al-Quds (Jerusalem), Palestina.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya,
“Masjid apakah yang pertama kali ada di muka bumi?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, 
. . . . . . . “Masjidil Haram.” . . . . . . 
Kemudian apa lagi?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, 
. . . . . . . “Masjid al-Aqsha.” . . . . .
Beliau ditanya lagi, “Berapa jarak antara keduanya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
. . . . . . . .“Empat puluh tahun.” . . . .
(HR. al-Bukhari dan Muslim).


Sumber : Fatawa Rasulullah: Anda Bertanya Rasulullah Menjawab, Tahqiq dan Ta’liq oleh Syaikh Qasim ar-Rifa’i, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Pustaka As-Sunnah, Cetakan Ke-1, 2008. 

Dome of the Rock, Masjid Berkubah Pertama di Dunia

Dome Of The Rock / Kubah Batu. adalah salah satu masjid di dalam komplek Masjidil Aqso di Jerusalem Timur, Palestina. Masjid yang sering disalah arti sebagai Masjidil Aqso ini merupakan Masjid berkubah pertama di dunia sekaligus sebagai Masjid Berkubah emas pertama.

Kubah Batu atau Dome of The Rock adalah salah satu bangunan suci umat Islam. Masjid berkubah pertama itu berada di tengah kompleks Al-Haram asy-Syarif yang terletak di sebelah timur di dalam Kota Lama Yerusalem (Baitul Maqdis).

Masjid itu berkubah keemasan. Sedangkan Masjid Al-Aqsa yang berkubah biru berada pada sisi tenggara Al-Haram asy-Syarif menghadap arah kiblat (kota Mekkah). Pembangunan masjid itu dimulai ketika Yerusalem jatuh ke dalam kekuasaan Islam pada era Khalifah Umar bin Khattab. Tak heran, jika masjid itu disebut Masjid Umar.

Adalah Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang memprakarsai pembangunan Kubah Batu pada tahun 66 H/685 M dan selesai tahun 72 H/691 M. Pembangunan masjid itu sepenuhnya dikerjakan dua orang arsitek Muslim yakni Raja' bin Hayat dari Bitsan dan Yazid bin Salam dari Yerusalem. Keduanya dari Palestina.

Di foto di atas terlihat dengan jelas, bangunan dengan kubah warna emas ditengah komplek tersebut adalah Dome Of The Rock atau Masjid Kubah Batu sedangkan Masjid Al-Aqso adalah Masjid dengan kubah bewarna Abu Abu pada bagian selatan komplek tersebut.
Bangunan Kubah Batu terdiri dari tiga tingkatan. Tingkatan pertama dan kedua tingginya mencapai 35,3 meter. Secara keseluruhan, tinggi masjid itu mencapai 39,3 meter. Keadaan ruang di dalamnya terdiri tiga koridor yang sejajar melingkari batu (sakhrah). Koridor bagian dalam merupakan lantai thawaf yang langsung mengelilingi batu seperti tempat thawaf di Masjidil Haram.

Di dalamnya dipenuhi ukiran-ukiran model Bizantium. Di dalamnya terdapat mihrab-mihrab besar jumlahnya 13 buah dan masing-masing mihrab terdiri dari 104 mihrab kecil. Untuk memasukinya ada empat pintu gerbang besar yang masing-masing dilengkapi atap.

Bentuk kubahnya banyak dipengaruhi arsitektur Bizantium. Sejarawan Al-Maqdisi menuturkan bahwa biaya pembangunan masjid itu mencapai 100 ribu koin emas dinar. Di dalam masjid itu terdapat batu atau sakhrah berukuran 56 x 42 kaki. Di bawah sakhrah terdapat gua segi empat yang luasnya 4,5 meter x 4,5 meter dan tingginya 1,5 meter.

Pada atap gua terdapat lubang seluas satu meter. Batu tersebut disebut sakhrah mukadassah (batu suci). Di batu tersebut Nabi Muhammad melakukan mi'raj dan sebagai saksi peristiwa tersebut maka dibangunlah Kubah Sakhrah di atasnya. Menurut literatur Islam, nilai kesucian sakhrah sama dengan Hajar Aswad (batu hitam).***



Senin, 13 Mei 2013

Mihrab Masjid Agung Sang Ciptarasa, Berukir Tanpa Kaligrafi

Mihrab dan Mimbar Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon

Berkunjung ke Masjid Agung San Cipta Rasa Cirebon yang merupakan warisan kejayaan Kesultanan Cirebon, kita akan disuguhi segudang keindahan dari masa lalu. Salah satunya adalah keindahan ukiran pada mihrabnya yang dibangun menggunakan batu pualam warna putih berukir yang sangat indah namun sepi dari ukiran kaligrafi.

Ukuran mihrab masjid ini relatif kecil dibandingkan dengan ukuran masjidnya yang kini bahkan sudah ditambah dengan empat pendopo di kiri, kanan dan depannya. Ukuran mihrab ini hanya cukup untuk satu orang imam saja. Menilik ukuran tersebut tanpaknya tak jauh berbeda dengan ukuran 8 pintu sampingnya yang dibuat hanya cukup untuk laluan satu orang, dan itupun harus menunduk karena dibangun hanya setinggi sekitar satu meter saja.

Ukuran mihrab yang kecil itu seakan mengingatkan siapapun yang menjadi imam di masjid ini bahwa dia sendirian dalam mengemban tugas dan amanahnya dalam memimpin jemaah yang berjejer di belakangnya. Bahwa pemimpin ummat harus amanah, memiliki ilmu yang mumpuni, memiliki kemampuan kepemimpinan dan mampu bertindak tegas dalam mengikuti aturan agama tanpa kecuali.

Ukiran pada Mahkota Mihrab Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon
Mihrab masjid Agung Sang Cipta Rasa dalam proses pembangunannya melibatkan sunan kalijaga yang mengukir dua pilar di kiri dan kanan ruang sempit tersebut. Ukiran pada dua pilar ini berbentuk kelopak bunga yang masih kuncup. Sedangkan ukiran pada mahkota mihrab berbentuk ukiran floral yang indah dan berpusat pada ukiran bunga matahari yang sedang mekar di bagian paling puncak.

Ukiran bunga matahari ini memiliki banyak makna, seperti Islam yang hadir menerangi tanah arab yang saat Islam lahir, dunia arab sedang tenggelam dalam kegelapan jahiliyah. Seperti ajaran Islam yang membawa ummatnya dari kegelapan ke jalan yang terang. Dibalik itu lambang bunga matahari itu mengingatkan kita pada kebesaran kerajaan Majapahit yang pernah berjaya di Nusantara. Dan lambang Majapahit dikenal dengan nama Surya Majapahit karena bentuknya yang memang mirip dengan matahari.

Sumber sumber sejarah memang menyebutkan bahwa pembangunan masjid Agung Sang Cipta Rasa melibatkan Raden Sepat dan pasukannya. Beliau adalah panglima pasukan Majapahit yang tadinya ditugasi untuk menhancurkan kesultanan Demak yang baru berdiri dengan Raden Fatah sebagai sultan pertamanya. Namun penyerbuan tersebut mengalami kegagalan dan justru membawa Raden Sepat ke dalam pangkuan Islam berikut seluruh anggota Pasukannya.

Kiri : Ukiran Bunga Matahari di Mihrab Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. Kanan : Surya Majapahit
Sekitar 200 orang anggota pasukan Majapahit dibawah pimpinan Raden Sepat tersebut diperintahkan oleh Raden Fatah berangkat ke Cirebon guna membantu Sunan Gunung Jati dalam proses pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibawah koordinasi Sunan Kalijaga yang bertindak sebagai kontraktor pembangunan masjid dimaksud.

Bergabungnya berbagai etnis dan latar belakang dalam proses pembangunan masjid ini memberikan kekayaan arsitektur tersendiri yang membentuk masjid Agung Sang Cipta Rasa yang kini kita lihat. Pembauran itu juga dapat kita lihat pada Mihrab masjid ini. selain ukiran floral di mihrab ini juga dilengkapi dengan dua ukiran geometris pada dua sisinya.

Ada tiga tegel lantai yang dipasang secara khusus di area mihrab ini masing masing oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang dan tentu saja Sunan Kalijaga selaku kontraktor. Tiga tegel tersebut melambangkan Iman, Islam dan Ikhsan. Mihrab masjid ini hanya satu dari bagian integral masjid Agung Sang Cipta Rasa yang mewakili kejayaan Kesultanan Cirebon pada masanya.**

Selasa, 07 Mei 2013

Kisah Dua Masjid Yang Dibangun Berpasangan


Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. Konon Masjid ini dibangun sebagai pasangan dari Masjid Agung Demak.
Menurut satu riwayat tutur menyebutkan bahwa pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon yang berlokasi di depan Keraton Kasepuhan Kota Cirebon, merupakan pasangan dari Masjid Agung Demak. Pada waktu pembangunan Masjid Agung Demak dimasa Raden Fatah tahun 1477 Sunan Gunung Jati memohon ijin untuk membuat pasangannya di Cirebon.

Karena merupakan masjid yang sepasang maka, kedua masjid ini memiliki wataknya masing masing. Bila masjid Agung Demak berwatak Maskulin dengan tampilannya yang gagah, maka masjid Agung Sang Cipta Rasa ini berwatak feminim. Bila atap Masjid Agung Demak dibangun berbentuk piramida bersusun tiga maka Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon dibangun dengan atap limas persegi panjang bersusun tiga untuk mewakili watak feminim.

Masjid Sepasang. Bisa temukan kemiripannya ?. sejarah tutur menyebutkan bahwa Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun sebagai pasangan dari Masjid Agung Demak. Bila Masjid Agung Demak dibangun dengan watak maskulin maka bangunan Masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon dibangun dengan watak Feminim.
Diceritakan juga bahwa para wali pada saat masjid ini selesai didirikan berjamaah sholat Maghrib disini dan kemudian Sholat Subuh di Masjid Demak. Sementara versi yang lain bahwa masjid ini dibangun hanya dalam waktu satu malam, karena pada waktu ke esokan harinya sudah dipakai untuk sholat subuh. Cerita tutur yang sulit dicerna akal bila mengingat jarak antara kedua masjid ini bila ditarik garis lurus hampir 230 km.

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon dibangun tahun 1478 atau setahun setelah Masjid Agung Demak. Atau bersamaan dengan didirikannya Kesultanan Cirebon dengan Sultan pertamanya Sunan Gunung Jati. Gagasan pembangunannya datang dari Putri Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana, Permaisuri dan juga sepupu Sunan Gunung Jati, karena Pangeran Cakrabuana sendiri adalah Uwak (kakak dari Ibu) Sunan Gunung Jati.

Proses pembangunan melibatkan para wali dengan Sunan Kalijaga sebagai kontraktor utama, sedangkan arsiteknya ditangani oleh Raden Sepat, seorang mantan panglima Majapahit yang kemudian ber-Islam berikut seluruh sisa pasukannya paska kekalahan dalam penyerbuan untuk menumbangkan Kesultanan Demak yang baru berdiri.

Sebagai masjid tua yang sama sama dibangun oleh Para Wali, baik Masjid Agung Demak maupun Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon sama sama menjadi objek wisata religi utama di tanah Jawa bersama masjid masjid dan makam makam para wali lainnya. ***


Jumat, 03 Mei 2013

Ada Matahari di Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon

KIRI : ukiran bunga matahari di mihrab Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon. KANAN : Surya Majapahit

Islam melarang penggunaan ukiran dan gambar manusia dan binatang dan bentuk mahluk hidup lainnya kecuali tumbuhan. Terutama di dalam masjid dan mushola. Karenanya, meski mimbar masjid Agung Sang Ciptarasa di Cirebon ini dipenuhi dengan ukiran ukiran nan indah yang dipatrikan ke batu pualam putih, tak satupun bentuk mahluk hidup disana.

Ukiran ukiran indah itu bermuara ke sebuah ukiran seperti bunga matahari di bagian puncak mihrab. Entah hanya sebuah kebetulan atau memang disengaja, bentuk bunga matahari itu sebelumnya pernah digunakan oleh kerajaan Majapahit sebagai lambang negara dengan nama Surya Majapahit.

Sedikit nukilan sejarah menyebutkan bahwa pembangunan masjid Agung Cirebon ini diprakarsai oleh Putri Pakungwati yang tak lain adalah Permaisuri dari Sunan Gunung Jati, melibatkan beberapa tokoh wali songo. Menariknya lagi proses pembangunan tersebut (konon) juga melibatkan Raden Sepat dan sisa sisa pasukannya.

Raden Sepat adalah panglima pasukan majapahit terahir yang menyerbu ke Demak pada saat kesultanan Demak baru berdiri. Penyerbuan yang justru kepada berislamnya Raden Sepat beserta sisa pasukannya. Selain kemampuan perang, Raden Sepat memiliki kemampuan seni bangunan yang mumpuni, beliau yang merancang Masjid Agung Demak.

Dikemudian hari ketika Cirebon akan membangun sebuah Masjid Agung, Sultan Demak mengutus beliau ke Cirebon untuk membantu pembangunan masjid dimaksud. Bisa jadi, sisa anggota pasukan beliau yang kemudian mengukir mimbar ini, mengabadikan lambang Majapahit tersebut dalam bentuk bunga matahari. Wallohua’lam.***