Senin, 15 April 2013

Masjid Aliyah, Rest Area Karawang Barat

Masjid Aliyah dari arah tempat parkir

Masjid Aliyah ini berada di dalam lingkungan rest area satu satunya yang berada di luar ruas jalan tol. Lokasi persisnya adalah di ruas jalan akses tol Karawang Barat. Sebuah bangunan masjid megah dengan arsitektur bergaya Arabia yang sangat menarik. Bangunan masjidnya sendiri masih terlihat dan terasa gres karena memang belum lama selesai dibangun.

Sebagaimana dijelaskan oleh pengelola rest area ini, pembangunan Masjid ALiyah di lokasi tersebut ditujukan untuk mempermudah ibadah umat Islam bagi musafir atau para pengguna jalan yang melintas di tol Karawang Barat. Ide pembangunan rest area ini sudah ada sejak tahun 2005 namun baru direalisasikan di pertengahan tahun 2012 dan baru diresmikan pada bulan Februari 2013 yang lalu.





Keseluruhan rest area Karawang Barat ini berdiri di atas lahan seluas 12000 meter persegi dan 25 persen diantaranya untuk pembangunan masjid. pembangunannya sendiri sebagai bentuk kepedulian dari pemiliknya yang merupakan putra daerah asli Karawang, H. Husein kepada masyarakat Karawang untuk mempermudah ibadah masyarakat.

Tidak hanya itu, rest area ini juga dibangun sebagai alternatif peristirahatan bagi para pengguna jalan baik masyarakat sekitar maupun pengguna jalan dari luar kota yang baru saja keluar Tol Karawang Barat atau sebaliknya. Mengingat, rest area yang ada di Jalan Tol selalu penuh sesak, jadi ini adalah alternatifnya.

Tenda bergaya masjid Madinah. di depan masjid Aliyah ini juga dipasang tenda tenda bergaya masjid Madinah sebagai peneduh bagi jemaah di pelataran depan.

Hadirnya rest area di akses tol Karawang Barat itu sebenarnya lebih memfokuskan diri ke pembangunan masjid untuk masyarakat dan pengguna jalan dari luar kota. Namun, pengelola kemudian dilengkapi dengan sarana istirahat dan tempat makan. Nantinya, akan banyak program yang dilaksanakan di Masjid Aliyah rest area tersebut, salah satunya adalah saum dan gratis makan di hari jumat.

Bangunan ini untuk seluruh masyarakat. Bisa di manfaatkan oleh siapapun dengan mematuhi rambu rambu dan aturan yang sudah dibuat oleh pengurus, aturan dan rambu tersebut terpampang dengan jelas di salah satu sudut area menuju masjid dari food court. Salah satunya adalah aturan berpakaian dan lain lain.

Gaya arabia yang sangat kental pada bangunan masjid ini ditandai dengan empat menara tinggi dan kubah besar.

Pengelola sudah menyiapkan fasilitas yang memadai termasuk lahan parkir yang luas, MCK dan seperti rest area lainnya, rest area Karawang Barat ini juga di dukung didukung belasan food court sebagai tempat makan para pengunjung. Penulis sendiri ketika mampir kesana sempat menikmati sajian gudek Jogja yang rasanya nyami, dengan harga yang cukup wajar. Disaat bersamaan sedang ada pameran furniture kayu yang menampilkan beragam furnitur ukiran jati beragam aplikasi.

Uniknya pengelola rest area ini memberlakukan wajib zakat 10 persen kepada setiap tenant untuk kepentingan masjid. yang nantinya bila lebih dari cukup rest area ini juga akan memberikan zakat kepada lingkungan sekitar, utamanya masjid [i].

Lampu gantung besar menggantung dibawah kubah besar di atap masjid ini memberikan keindahan tersendiri bagi masjid Aliyah.

Bupati Karawang Serahkan Santunan Kepada 560 Anak Yatim

Pada hari Sabtu 26 Januari 2013 yang lalu bertempat di masjid Aliyah ini Bupati Karawang bersama FKLKS ( Forum Komunikasi Lembaga Kesejahteraan Sosial ) berikan santunan bagi sekitar 560 anak yatim piatu. Hal tersebut diselenggarakan sebagai wujud kepedulian kepada anak yatim Piatu,

Bupati Karawang dalam kesempatan tersebut mengatakan sangat menyambut baik terhadap FKLKS  telah peduli kepada anak yatim piatu yang ada di Kab. Karawang dan berharap agar kegiatan serupa dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Sebagaimana dijelaskan oleh ketua panitia, Rafiudin Firdaus santunan kepada anak yatim piatu ini diberikan kepada anak yatim piatu berjumlah sekitar 560 anak, dari 28 panti yang ada di Kabupaten Karawang [ii]***

ada empat pilar besar menopang struktur atap di dalam masjid Aliyah ini layaknya masjid masjid tradisional Indonesia.
Nyentrik. tampilan dinding bagian dalam masjid ini cukup nyentik dengan pola serat kayu mendomonasi seluruh tembok bagian dalam masjid, unik dan hanya satu satunya yang seperti ini.
Perubahan lahan terekam dengan baik melalui foto satelit yang tersimpan rapi di aplikasi google earth. Foto kiri diambil pada tahun 2000 saat area tersebut masih berupa lahan pesawahan dan sebelah kanan tahun 2012 ketika pembangunan masjid sedang berlangsung dan lahan disekitarnya masih berupa tanah merah hasil urukan.
------------------------

Baca Juga


------------------------------------------

Referensi

Sabtu, 13 April 2013

Masjid Jami’ Babussalam Gelumbang

MASJID MASJID DI TANAH BELIDA

Setidaknya sampai ahir tahun 2010 Masjid Jami' Babussalam Gelumbang masih berbentuk seperti pada foto kiri. dan foto sebelah kanan adalah foto Masjid Jami' Babussalam beberapa bulan yang lalu saat mendekati penyelesaian ahir.

Gelumbang adalah nama Kelurahan sekaligus nama kecamatan di dalam wilayah kabupaten Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan. Lokasinya terpaut 58 km dari Kilometer Nol di bundaran air mancur di depan Masjid Sultan dan jembatan Ampera di Pusat kota Palembang, tapi justru begitu jauh sampai 119 KM dari kota Muara Enim selaku Ibukota Kabupaten.

Wajar bila kemudian merebak keinginan dari masyarakat setempat untuk membentuk Kabupaten sendiri terlepas dari Kabupaten Muara Enim. Status Gelumbang sendiri sudah lama sekali berubah menjadi kelurahan dengan lurah yang ditunjuk langsung bukan dipilih, menggantikan Status lamanya sebagai sebuah desa.

Masjid Jami’ Babussalam atau biasa disebut Masjid Babussalam saja, dulunya merupakan satu satunya masjid bagi tiga kampung di Kelurahan Gelumbang bersama dua Langgar, yakni Langgar Nurul Iman di Kampung II dan satu Langgar lagi kampung III. Tidak ada langgar di kampung I karena sudah ada Masjid Jami’.

Begitu jauh dari Ibukota Kabupaten. 
Seiring dengan perkembangan zaman, penduduk semakin membludak, penghuni makin padat ditambah lagi dengan munculnya wacana untuk menjadi kabupaten mandiri membuat Desa yang dulunya sepi, kini mulai tumpek plek dengan pemukiman warganya yang semakin heterogen tidak lagi melulu dihuni oleh Urang Belide (Orang Belida) seperti pada masa sebelumnya. Kebutuhan akan masjid dan langgar-pun meningkat dan kemudian berdirilah beberapa masjid di kawasan kawasan pemukiman baru.

Sampai sejauh ini saya masih belum juga menemukan data pasti kapan pertama kali masjid ini dibangun. Saat masih kecil dulu masjid ini masih berupa masjid permanen berbentuk masjid tradisional dengan atap bersusun tiga mirip dengan Masjid Agung Sultan di kota Palembang namun dalam bentuk yang lebih sederhana. Tapi siapa yang membangunnya dan kapan dia mulai dibangun ? saya belum tahu.

Saya masih duduk di kelas satu SD di tahun 1978 ketika masjid tersebut dibongkar total untuk dibangun ulang karena beberapa alasan, diantaranya adalah karena kerusakan struktur atap yang sudah begitu parah, kebocoran saat hujan terjadi disana sini. Bukan hal aneh bila sedang berada di dalam masjid kita juga akan kehujanan serbuk kayu yang berterbangan di rungan dari lubang lubang tempat kumbang kumbang kayu bersarang, belum lagi bila kumbangnya sedang buang air. Wuah.

Tunggu saja foto terbarunya ya.
Alasan lainnya adalah karena arah kiblatnya yang melenceng. Setelah bangunan baru berdiri teratak masjid lamanya yang melenceng ke kiri masih bisa terlihat disebelah kiri bangunan masjid baru. Tak ada yang tersisa dari bangunan masjid lama kecuali menaranya yang kemudian dibuat lebih tinggi. Proses pembangunan Masjid beton yang dibangun kemudian itu tidak berjalan mulus selama berpuluh tahun.

Interiornya tak pernah tersentuh pengerjaan finishing, bila melongok ke plafon masjid masih akan terlihat bekas bekas papan cor yang belum dirapikan, begitupun dengan jejeran tiang tiangnya. Ya, seluruh atap masjid nya memang di cor karena tadinya direncanakan sebagai masjid berlantai dua tapi kemudian lantai atasnya batal digunakan setelah menyadari struktur fondasinya yang tidak layak untuk itu.



Tahun 2010 tokoh tokoh masyarakat setempat bermufakat untuk merobohkan lagi bangunan masjid yang dibangun sejak tahun 1978 itu dan menggantiya dengan bangunan masjid dua yang lebih refresentatif sebagai masjid Jami’ di calon Ibukota kabupaten baru itu. kabar baguspun datang dengan digusurnya Kantor Kades yang tadinya berdiri di depan masjid ini dan lahannya dijadikan halaman depan masjid.

Berita baik berikutnya juga datang dari rumah disebelah masjid yang kemudian dijual oleh pemiliknya dan dibeli oleh pengurus masjid dengan dana dari si penjual sendiri, Hah aneh ya ?. Tapi konon katanya memang begitu adanya. lahan bekas rumah itu kini digunakan untuk menambah luas bangunan masjid di sebelah kiri (selatan).

Dan kini sebuah bangunan masjid yang sama sekali baru sudah berdiri megah di Simpang Empat kelurahan Gelumbang dengan tetap mempertahankan nama lamanya. Simpang Empat itu memang pusatnya Gelumbang, orang disana biasa menyebutnya dengan istilah “Tengah Laman” alias tengah tengah kampung. Bila suatu hari anda kebetulan melintas disana silahkan mampir ke masjid tempat saya dulu belajar mengeja hurup Alif Ba Ta.***

Speaker Masjid, Fitur Yang Terabaikan


Zaman dulu kala ketika di kampungku hanya ada satu masjid Jami' Saja, penduduk yang rumahnya di ujung kampung bisa marah marah bila suara azan dari menara masjid Jami' tak terdengar sampai ke rumah atau ladangnya, pasalnya dia tak keburu siap siap dengan baik untuk sholat Jum'at, berbuka, sahur apalagi imsak.
Saya cukup tergelitik dan mesem mesem dengan satu adegan film nya Haji Rhoma Irama. Ceritanya beliau singgah ke masjid menjelang waktu sholat dan bertemu dengan pengurus masjid yang diperankan Haji Komar. Beliau sempat menanyakan perihal beduk yang ditutup dengan kain terpal terkesan tidak dipakai lagi, pengurus masjid itu menjelaskan bahwa beduk itu memang tidak dipakai lagi karena kata pak Kyai “itu Bid’ah, Nabi tak pernah pakai beduk”.

Rhoma tak berkomentar apapun, tapi jadi benar benar menarik ketika Haji Komar yang siap siap mengumandangkan azan menggunakan speaker, tiba tiba dimatikan oleh  Haji Rhoma. Haji Komar Protes “kok dimatikan ?” lalu dijawab dengan meminjam kalimat Haji Komar sendiri “ini Bid’ah, Nabi tidak pernah pakai Speaker”.

Seputar Pengaturan Pengeras Suara di Masjid sempat menjadi topik panas gara gara Pidato Wapres tentang Pengaturan Azan saat membuka muktamat DMI 27 April tahun 2012 yang lalu. Serangkaian kontroversi merebak beberapa pihak mengkhawatirkan Usulan Wapres Soal Pengaturan Azan tersebut akan Pancing Konflik Horizontal yang lainnya berpendapat bahwa Soal Pengeras Suara di Masjid, Biar Masyarakat Mengatur sedangkan imam masjid Istiqlal dengan pedas mengatakan Soal Azan Wapres, 'Kalau tak Ingin Hidup Pluralistik, Tinggal di Hutan'.

Harap maklum sajalah bila pernyataan Pak Boed bahwa Pengeras Suara Azan Perlu Diatur itu kemudian menuai kontroversi, mengingat posisi beliau yang wapres. Kalaulah yang bicara seperti itu hanya sekelas rakyat biasa tidak akan menuai reaksi seperti itu, paling paling nyaris dikeroyok masa seperti yang terjadi pada Sayed Hasan, warga Aceh yang nyaris di hajar masa gara gara Gugat Pengeras Suara Adzan.

Untuk saya pribadi Pengaturan Penggunaan Mikropon Masjid Perlu Diperhatikan, apalagi sebenarnya pemerintah melalui Dirjen Bimas Islam di tahun 1978 sudah pernah menerbitkan Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara Di Masjid, Langgar Dan Mushalla, sayangnya kurang disosialisasikan dengan baik.

Haruskan speaker di seting sekeras kerasnya, apakah semua aktivitas di masjid harus disuarakan melalui speaker luar, apakah anak anak tak perlu dicegah menggunakan speaker masjid sebagai mainan ? masyakat sendiri yang harus arif.
Tata suara masjid memang lebih banyak menjadi urusan penting gak penting bahkan terabaikan di masyarakat kita, jangankan mengurusi hal itu, untuk membangun masjidnya pun butuh waktu bertahun tahun untuk menyelesaikannya karena kekurangan dana. Rasanya masih menjadi mimpi yang teramat panjang bila mengharapkan masjid masjid kita memiliki tata suara yang sangat baik seperti Fitur Akustik Masjid Salman ITB hingga suara khatib terdengar begitu nyaman ditelinga jemaah paling belakang sekalipun.

Apalagi untuk seperti tata suara di masjid masjid besar dan tua Turki yang akustiknya dirancang dengan cermat bersamaan dengan rancang bangun masjidnya secara keseluruhan, hingga suara robekan kertas di ruang mihrab akan terdengar dengan jelas hingga jemaah di jejeran paling belakang tanpa perlu pengeras suara. Saking rumitnya rancangan bangunan masjid di Turki sampai sampai kesalahan perombakan interior-nya berakibat rusak fitur sistem tata suara alami-nya, seperti rusaknya fitur akustik pada masjid Sulaimaniyah.

Suka atau tidak bila kita berkeliling ke berbagai masjid di tanah air, kadang kala sempat terkaget kaget juga dengan suara speaker di dalam masjid yang di seting dalam volume teramat tinggi mirip tabligh akbar saat khutbah Jum’at.  Bagus memang, karena suara berisik anak anak kecil sampai nyaris tak terdengar sama sekali tertindih kerasnya suara khatib dari speaker, hanya saja rasanya benar benar menjadi tidak nyaman ditelinga.

Belum lagi bila kita perhatikan dengan baik bahwa sistem tata suara di dalam kebanyakan masjid masjid kita memang perlu penataan dengan baik, bukan sekedar terdengar keras dan lantang tapi lebih daripada itu, tujuan penggunaan pengeras suara adalah supaya suara khatib ataupun muazin terdengar dengan baik oleh jema’ah.

Di kampung kami di Cikarang, di beberapa masjid, speaker malah menjadi perangkat yang tidak penting saat sholat berjama’ah kecuali sholat Jum’at, karena imamnya sama sekali tidak menggunakan speaker, jangan kaget bila kemudian anda harus mengikuti jemaah disebelah anda karena suara imamnya yang nyaris tak terdengar. Tradisinya memang begitu.

Suara azan memang harus disuarakan dengan keras dan lantang, namanya juga azan toh. Yang harus pelan dan khusu’ itu berdoa. Hanya saja memang jadi benar benar mengganggu bila suara muazin nya tak layak tayang. Pengurus masjid memang harus bijaksana memilah hal mana yang layak untuk disuarakan dengan speaker luar masjid dan mana yang hanya cukup disuarakan di dalam masjid.

Azan, tidak saja menyuarakan panggilan sholat kepada ummat tapi juga merefresentasikan kemahiran muazin melantunkannya, kebijaksanaan DKM dalam memilih muazin. Dan kita juga harus faham bahwa hanya sedikit saja masjid di tanah air kita ini yang memiliki manajemen professional. Sisanya adalah masjid masjid yang dibangun dan dikelola sendiri oleh masyarakat, Muazin, Imam hingga khatibnya juga dari masyarakat sendiri, sehingga butuh ke-arifan dan kebijaksanaan lebih manakala membicarakan pengaturan tentang speaker masjid yang memang penting gak penting.***

Kamis, 04 April 2013

Masjid Agung Darul Ghoumun, Pulo Masigit – Karawang

Masjid Agung Darul Ghoumun, Pulo Masigit – Karawang

Agak sedikit membingungkan penamaan “Masjid Agung” yang melekat pada masjid satu ini. mengingat Masjid Agung semestinya merupakan masjid di tingkat kabupaten / kota yang menjalankan salah satu fungsinya sebagai koordinator masjid masjid Jami’ di dalam wilayah Kabupaten / Kota. Mungkin hanya sekedar penamaan saja sebagai masjid Agung.


Lokasinya berdiri tak jauh dari masjid dan makam Sheikh Quro, meski berada di kampung yang berbeda namun jarak antara keduanya tak terpaut jauh, ada jalan setapak yang menghubungkan areal makam Sheik Quro kea rah utara langsung ke masjid ini. Azan yang dilantunkan dari pengeras suara masing masing masjid ini pun terdengar dari masing masing masjid.

makam Shekh Darugem/Bentong yang disebut Keramat Pulo Masigit
Sama seperti Masjid Jami’ Sheikh Quro yang berada tak jauh dari makam beliau, Masjid Darul Ghoumun inipun berada tak jauh dari makam Shekh Darugem/Bentong.yang disebut Keramat Pulo Masigit. Lokasi makamnya berada di sebelah barat bangunan Masjid. makam ini juga ramai peziarah dari berbagai tempat.

sama persis seperti suasana di komplek makam Sheikh Quro, di sekitar masjid dan makam satu ini pun dipenuhi oleh tenda tenda darurat para pedagang.
Syekh Abdiulah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah alias Ayekh Maghribi keturunan dari sahabat nabi (sayidina Usman bin Affan) adalah salah satu murid dari Sheikh Quro, beliau yang menemani Sheikh Quro melakukan perjalanan hingga ke Pulo Bata.

Mahkota yang indah di ujung atap masjid.
Masjid Darul Ghoumun ini memiliki arsitektural yang cukup menarik. Bangunan utamanya berupa bangunan segi empat berukuran sekitar 12x12 meter. Atapnya berupa atap bersusun dua. Di puncak atap tertingginya di hias dengan mahkota yang cukup menarik, meskipun saya sendiri kurang faham makna dari mahkota tersebut. Bentuk mahkota yang sama juga dipasang di empat bentuk menara kecil di empat penjuru masjid.

Guci besar penampung air untuk berwudhu
Di sisi timur masjid ini dilengkapi dengan pendopo terbuka bersebelahan dengan tempat wudhu. Uniknya tampungan air wudhu di masjid ini menggunakan guci yang berukuran begitu besar di cat warna kuning emas, sangat menarik. Area dalam masjid ini tanpa sekat dan tanpa tiang.

Mihrab dan mimbar.
Meski ada masjid kecil di sebelah barat Makam yang disediakan khusus untuk jemaah wanita, namun di dalam masjid ini tersedia beberapa mukena di pojok kiri belakang ruangan. Ruang mihrabnya dibangun berbentuk lingkaran senada dengan bentuk gerbang masuk ke Makam Sheikh Quro. Bila diperhatikan dengan baik, bentuk menara kecil yang menghias atap masjid ini juga mirip dengan bentuk pagar makam Sheikh Quro.

kolam di sisi utara bangunan masjid dengan sumur dibagian tengahnya.
Di sisi utara masjid ada sebuah kolam berair dangkal dan ditengahnya ada sebuah lubang sumur berukuran kecil yang disebut sebut sebagai sumur keramat. Siapapun yang hendak mengambil air dari sumur tersebut harus menyeberangi air kolam. Selain itu ada beberapa tempat disekitar masjid dan makam ini yang tampaknya dirawat dengan baik oleh pengurus sebagai tanda bahwa lokasi tersebut memiliki keterkaitan sejarah dengan beliau yang bermakam disana.***

Mahkota yang sama juga menghiasa empat menara kecil di empat penjuru atap masjid.
------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo dan @masjidinfo.id
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara
------------------------------------------------------------------

Baca Juga


Selasa, 02 April 2013

Masjid Jamie Syeh Quro - Karawang

Masjid Jamie Sheikh Quro, berada di dalam komplek Makam Sheikh Quro d Pulo Bata, Karawang.  Bila diperhatikan, gerbang menuju masjid ini memang cukup unik.

Masjid Jamie Sheikh Quro atau Syeh Quro berada di dalam komplek makam Sheikh Quro di kampung Pulo Bata, Desa Pulo Kelapa, Kecamatan Lemah Abang, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Lokasinya berada sekitar 23 kilometer dari pusat kota Karawang ke arah utara. komplek makam yang senantiasa ramai peziarah dari berbagai pelosok tanah air.

Lokasi Masjid Jamie Syeh Quro

           Kampung Pulo Bata, Desa Pulo Kelapa, Kecamatan Lemah Abang
Kabupaten Karawang 41383, Provinsi Jawa Barat
           Titik Koordinat :  6°15'4.73"S 107°28'54.34"E

           Satuan Jarak :
3.14 km dari pertigaan jalan Sheikh Quro
21 km dari jalan lingkar luar karawang
22.83 km dari jalan Tuvarev, Perempatan Pasar Johar



Ukuran masjid nya memang tidak terlalu besar, namun menjadi istimewa karena lokasinya yang berada di dalam komplek salah satu makam ulama besar tanah Jawa. Ditinjau dari sudut arsitektural maupun sejarah-pun masjid ini biasa biasa saja. Dalam sejarahnya peran Sheikh Quro tak bisa lepas dari keberadaan Masjid Agung Karawang yang pada awalnya merupakan mushola kecil yang dibangun oleh beliau sebagai tempat mengajarkan Al-Qur’an di tengah pesantren yang dibangunnya.

Gerbang. Ada dua gerbang utama di komplek makam ini. salah satunya adalah gerbang menuju ke masjid seperti foto di atas. di kiri kanan gerbang ini penuh dengan jejeran warung warung pedagang.
Mushola kecil tersebut yang dikemudian hari menjadi titik pangkal penyebaran Islam di Karawang dan sekitarnya. Kisah tutur menyebutkan bahwa salah satu murid Sheikh Quro (versi lain menyebut sebagai putrinya) bernama putri Subang Larang atau Nyi Subang Karancang dipersunting oleh Raden Pamanah Rasa yang tak lain adalah putera Mahkota Pajajaran yang dikemudian hari naik tahta bergelar Sri Baduga atau Prabu Siliwangi, Kakek dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari Ibunya yang bernama putri Rara Santang, putri tertua Prabu Siliwangi.

Diantara warung warung. sisi depan komplek Makam Sheikh Quro ini dipenuhi oleh warung warung para pedagang. tidak saja di areal parkir hingga menutupi pagar makam seperti foto di atas tapi juga hingga ke dalam komplek makam.
Namun, bangunan masjid Jamie Syeh Quro di Pulo Bata ini memang sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan Masjid agung Karawang. Meski ukurannya tak terlalu besar namun masjid ini berfungsi sebagai masjid Jami’ yang digunakan untuk sholat Jum’at bagi para peziarah, pedagang, pengurus komplek makam dan warga sekitar.

Atap Limas bersusun tiga. seperti kebanyakan masjid masjid Indonesia lainnya, masjid Jamie Sheikh Quro ini juga menggunakan atap limas bersusun tiga.
Bangunan utamanya berbentuk segi empat dengan atap tumpang bersusun tiga. Bangunan utamanya di cat hijau dengan atap genteng merah bata. Lantai nya menggunakan keramik lantai warna putih. ada tiga pintu akses masing masing pintu selatan menghadap ke gerbang utama, pintu utara menghadap ke salah satu makam di komplek tersebut sedangkan pintu timur mengarah ke Makam Sheikh Quro.

Sunda Arabian. Nama Masjid yang sedikit terpengaruh oleh dialek Setempat.
Pintu dan jendelanya dibuat dari kayu dengan rancangan sederhana. Kusen pintu dan jendelanya di beri lubang angin sebagai ventilasi dibagian atasnya. Interior masjidnya sepi dari ornamen, termasuk mimbar sederhananya. Pasokan air berlimpah di masjid ini, meski jangan kaget bila sedang berkumur karena memang air wudhu yang mengucur dari keran di masjid ini rasanya asin seperti air laut.

berjejer dengan penginapan. bangunan disebelah kiri foto adalah penginapan sederhana yang disediakan oleh pengelola untuk para peziarah yang hendak menginap disana. Hampir semua sisi komplek ini terdapat warung tenda darurat para pedagang.
Komplek makam Sheikh Quro sendiri memang berada cukup jauh dari pusat kota Karawang menjadikan masjid ini sebagai tempat yang cocok untuk menyepi dari keramaian. Tak ada bising kendaraan dan kesibukan yang akan mengganggu. Ditambah lagi lingkungannya yang asri dengan pepohonan rindang sedikit mengurangi panasnya cuaca Karawang.

Bangunan Masjid terlihat dari arah Makam.
Tak usah khawatir dengan akomodasi dan konsumsi. Di komplek ini tersedia penginapan sederhana bagi yang ingin menginap dan para pedagang segala macam keperluan bertebaran dari halaman parkir hingga ke dalam komplek makam. Selain berdekatan dengan Makam Sheikh Quro, Masjid ini juga tak terlalu jauh dari Masjid Agung Darul Ghoumun Pulo Masigit di komplek keramat Pulo Masigit Makam Sheikh Darugen/Bentong***

------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo dan @masjidinfo.id
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara
------------------------------------------------------------------

Baca Juga