Minggu, 17 Februari 2013

Masjid Jamik Miftahul Jannah, Burai

di tepian sungai Kelekar. Masjid Jamik Miftahul Jannah di Desa Burai ini berada persis ditepian sungai Kelekar.

Burai, adalah nama sebuah desa di wilayah kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Propinsi Sumatera Selatan. Konon kata Burai berasal dari kata Buritan, atau Buri, yang artinya bagian belakang, ujung atau terahir. Dinamai demikian karena disebutkan bahwa wilayah ini merupakan salah satu wilayah pertahanan terahir pasukan kesultanan Palembang dalam perang melawan penjajah.

Desa yang cukup luas ditepian Sungai Kelekar ini memiliki sebuah komplek pemakaman tua yang membentang luas, sudah terlihat sejak kita pertama kali masuk ke desa ini. Sebelum dibangunnya jembatan yang melintasi sungai Kelekar dari Tanjung Baru (Sendawar) menuju ke Desa Burai, Burai benar benar menjadi sebuah desa ujung aspal seperti penggalan lagunya Iwan Fals. Aspal jalanan memang berahir di desa ini, habis, setelah itu silahkan lanjutkan perjalanan menggunakan angkutan air.




Lokasi Desa Burai di peta lama

Namun sejak selesainya pembangunan jembatan tersebut, desa ini lebih mudah dijangkau melalui Desa Tanjung Baru. Terutama bagi mereka yang tinggal di sekitaran kota Prabumulih dan Palembang tidak perlu lagi melakukan perjalanan darat melambung melalui Tanjung Batu atau Muara Meranjat untuk menuju kesana.

Saya pribadi memang memiliki keterikatan sendiri dengan desa ini meski tidak dilahirkan dan dibesarkan disana juga tidak pernah menetap disana, namun dari desa ini Almarhum kakekku berasal. Makam beliau juga berada disana dibawah lindungan pohon pohon besar tak jauh dari tugu peringatan dipertigan sebelum memasuki pemukiman warga.

Papan Nama Masjid.
Dan ternyata memang sudah lama sekali saya tidak kesana, terahir kali singgah kesana untuk bersilaturrahim dengan sanak family juga berziarah ke makam para leluhur, bertepatan dihari Jum’at sempat menunaikan sholat Jum’at di Masjid Jamik Miftahul Jannah yang lokasinya persis berada ditepian Sungai kelekar yang melintasi desa ini. saat itu putri pertamaku baru berumur sekitar 10 atau 11 bulan dan kini sudah duduk di bangku SMA. Selembar foto bersama di depan pintu masuk Masjid Jamik Miftahul Jannah mengingatkanku pada momen itu. Setidaknya sudah sekitar 15 tahunan yang lalu.

Wajar bila saat ini tampilan luar masjid ini sudah banyak berubah terutama sudah ditambahkan teras di bagian di tiga sisinya. Salah satu sisi masjid yang menghadap ke sungai kelekar dilengkapi dengan tangga dan sebuah gazebo yang dihubungkan dengan sebuah jembatan panjang. Pada saat air pasang gazebo ini berada di dalam sungai, jemaah yang hendak berwudhu tinggak turun sedikit ke anak tangga menuju sungai kelekar dan berwudhu disana.

Air sungai kelekar ini sendiri memang terasa sedikit asin tidak seperti air sungai biasa. Semasa kecil dulu paling senang main air sampai basah lalu mandi di tangga depan salah satu rumah kakekku yang berada persis di atas sungai ini pada saat air pasang, sehingga separo dari tangga depannya berada di dalam air. Tak perlu repot ke menuju sungai untuk mandi karena air sungainya sudah menghampiri hingga ke tangga depan rumah. Sekian tahun berlalu, giliran putriku yang kegirangan mandi ditempat yang sama.

Add caption
Pada umumnya masyarakat di desa Burai dan kabupaten Ogan Komerint Ilir (OKI) yang kini sudah dipecah dua menjadi Kabupaten OKI sendiri dan Kabupaten Ogan Ilir merupakan masyarakat yang agamis. Pondok pesantren dapat ditemui hampir disetiap desa. Masjid masjid Jamik yang ada juga cukup terawat dan ramai jemaah.

Bangunan Masjid Miftahul Janaah di desa Burai ini juga tak jauh berbeda dengan masjid masjid yang umumnya kita jumpai di tanah Jawa dan Nusantara lainnya. Berupa bangunan masjid beratap limas, namun dengan sedikit sentuhan Thionghoa dengan beberapa taji di ujung ujung atapnya. 

Family Day in Burai 1998
Bedanya di ujung atap masjid ini sudah tidak lagi di hias dengan ornamen berbentuk daun simbar dan sebuah gada tunggal tapi sudah menggunakan sebuah kubah bawang logam berukuran kecil. Masjid ini juga dilengkapi dengan sebuah menara.

Tradisi Jum’atan di Masjid ini juga sama persis seperti tradisi di masjid masjid tua di Sumater Selatan lainnya dan juga tradisi Jum;atan di tanah Jawa. Prosesi sholat Jum;at dimulai dengan lantunan suara muazin yang menyuarakan sholawat sambil memegang sebuah tombak yang kemudian dipindahtangankan ke Khatib yang perlahan menuju mimbar. Muazin kemudian melantunkan azan pertama. Azan kedua dilantunkan sebagai pengantar khutbah. ***

Gazebo di belakang Masjid Jamik Miftahul Jannah, Burai, ditepian Sungai Kelekar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

hindari komentar yang berbau SARA