Kamis, 09 Oktober 2008

Kisah Sebuah Masjid di Kota Strasbourg, wilayah Alsace-Moselle, Prancis

Disaat pembangungan masjid menghadapi tantangan luar biasa di seantero Prancis, ada satu wilayah di Negara tersebut yang justru membantu terwujudnya pembangunan masjid untuk mengakomodasi kebutuhan ummat Islam disana yang jumlahnya semakin meningkat.

Adalah wilayah Alsace-Moselle yang menjadi model bagi dialog antar agama yang cukup kental dibandingkan wilayah wilayah lainnya diseluruh Prancis, sebagaimana di sampaikan oleh Fouad Douai yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pembangunan masjid pemerintah di kota Strasbourg, Alsace-Moselle, demikian Islam Online mengutip International Herald Tribune, 7 Oktober yang lalu.

Kenyataan yang sangat luarbiasa di kota tersebut begitu bertentangan dengan kesekuleran Prancis, yang dengan perundangan tahun 1905 sangat tegas melarang negara untuk memberikan bantuan bagi agama manapun, Namun wilayah Alsace-Moselle malah memberikan hak kepada kaum muslimin di wilayah-nya untuk membangun masjid.

Alsace-Moselle pernah dikuasai Jerman dan baru dikembalikan kepada Prancis paska perang dunia pertama berahir, masih memakai perundangan sebelum perundangan tahun 1905 diberlakukan hingga memungkinkan pemerintahan lokal disana memberikan bantuan finansial kepada publik untuk membangun tempat ibadah bahkan memberikan gaji kepada para pegurus-nya.

Selama beberapa dekade wilayah tersebut merupakan wilayah tertutup bagi agama lain selain Katolik Roma, Lutheran, Kalvari dan Yahudi. Baru kemudian pada tahun 1998 Kepala Gereja Katholik Roma, Gereja Lutheran, Gereja Kalvari, dan minoritas Yahudi melayangkan surat kepada pemerintahan setempat sebagai dukungan bagi pembangunan masjid untuk kaum muslimin disana.

Mereka mengatakan bahwa Islam merupakan agama yang mampu mengembangkan komunitas di wilayah tersebut harus menikmati status yang sama dengan ke empat agama resmi lainnya. Islam merupakan agama terbesar kedua di Alsace-Moselle yang berpenduduk 2,9 juta jiwa. Namun hanya memiliki satu masjid kecil saja di kota Farebersviller, tidak ada satu pun tempat resmi bagi ummat Islam disana untuk melaksanakan peribadatan.

Segera setelah menerima surat dukungan dari para tokoh tersebut, pemerintahan setempat memberikan lahan yang cukup luas di tepian sungai Kota Strabourg untuk pembangunan masjid. Pemerintah kota dan Dewan Wilayah menyumbang 25 persen dari keseluruhan biaya pembangunan masjid dimaksud. Menjadikan masjid tersebut sebagai tempat ibadah resmi yang diakui oleh pemerintah.

Rintangan

Rencana pembangunan masjid tersbut bukan tanpa kendala, Dunia Perpolitikan Prancis begitu hipokratik. Ungkap Douai, yang juga menjabat sebagai kepala organisasi komunitas muslim Alsace-Moselle. Orang orang disana tidak menamakan sesuatu berdasarkan apa yang sebenarnya, tiap kali mereka melihat adanya orang kulit berwarna atau nama nama islam maka anda akan benar benar merasa tertindas. Hal yang paling anyar tentang rencana pembangunan masjid disana di tahun 1998 telah menghadapi debat politik yang sengit.

Roland Ries, yang menjabat sebagai walikota Strasbourg kala itu dan membantu memulai pembangunan masjid baru tersebut harus membayar biaya politik yang sangat mahal akibat keputusannya dengan kehilangan jabatan sebagai walikota, manakala pemerintahan sosialisnya mengalahkan dia dalam pemelihan lokal tahun 2001.

Walikota baru yang berhaluan kanan mengunjungi lokasi proyek pembangunan dan memberikan ijin hanya kepada bangunan yang diperuntukan bagi kegiatan religius dan meolak mengizinkan pembangunan Pusat Study dan Auditorium. Pemerintahan baru juga menolak pemberian menara bagi masjid tersebut. Baru pada tahun 2007 yang lalu pembangunan masjid tersebut ahirnya dimulai. Komunitas muslim disana berjuang keras bagi pendanaan pembangunan dan proses penyelesaian pun menjadi sangat lambat.

“Saya ingin bangunan itu sesegera mungkin diselesaikan” ungkap Ries, yang kembali menduduki jawabatan walikota pada bulan Maret yang lalu dengan dukungan mutlak dari kaum muslimin disana.

Sebuah Pelajaran Berharga

Para pejabat disana percaya bahwa meskipun berkendala, Alsace Moselle selayaknya dijadikan contoh bagi wilayah Prancis lain nya. “Muslim prancis saat ini mewakili agama terbesar kedua di Prancis, begitu juga di Alsace-Moselle” ungkap François Grosdidier anggota legislatif dan sekaligus walikota Woippy kota kecil di wilayah yang sama dengan penduduk 15 ribu jiwa dan sepertiganya adalah warga muslim, Sebuah pengecualian diberikan bagi warga muslim, mereka dipersilahkan (warga untuk membangun masjid di basemen sambil mencari bantuan asing”

Saat ini sudah terdapat 1,700 tempat ibadah bagi kaum muslimin di prancis yang menjadi rumah bagi enam hingga tujuh juta warga muslim. Menjadikan prancis sebagai minoritas muslim terbesar di Eropa. Dari 1,700 tempat tersebut hanya 400 saja yang merupakan masjid yang di akui secara resmi oleh negara sementara sisanya merupakan tempat ibadah sementara di ruang aula, Gimnasium, toko tak terpakai atau lantai basemen sebuah gedung apartemen.

Pak Grosdidier (Walikota kota Woippy) yakin bahwa segera atau nanti hukum Prancis dan para politikus akan sadar akan kewajiban untuk mengakomodasi populasi muslim di Prancis.

“Saya pikir situasi yang kini terjadi tidak akan bertahan lama di negeri ini” “situasi (penolakan terhadap islam) ini tidak akan mampu bertahan lama” imbuhnya.

Rabu, 08 Oktober 2008

Polri dan Kejati Dukung RUU Pornografi

JAKARTA -- Polri dan Kejaksaan Agung telah menyatakan dukungannya untuk mengawal penerapan RUU Pornografi di lapangan. Ketua Panitia Khusus RUU Pornografi, Balkan Kaplale, menegaskan, dengan dukungan itu masyarakat tidak perlu khawatir soal pemberlakuan RUU Pornografi nantinya.

''Kita sudah dengar dari perwakilan Kejaksaan Tinggi dan Mabes Polri. Mereka mendukung RUU Pornografi dan sudah ada pengertian yang sama tentang Pasal 21, 22, dan Pasal 14,'' kata Balkan kepada Republika, Ahad (5/9) siang.

Pansus RUU Pornografi bertemu dengan perwakilan Kejati dan Mabes Polri dalam rapat 24 September lalu. Dari pertemuan itu dicapai kesepahaman dan kesepakatan untuk saling mendukung. ''Keduanya siap melaksanakan,'' tegas Balkan.

Kesepahaman dan kesepakatan dengan Kejati dan Mabes Polri ini memegang peranan penting. Sebab, sebagian kelompok masyarakat merasa ragu terhadap bagian dua draf RUU Pornografi yang berisi ketentuan partisipasi masyarakat dalam memerangi pornografi.

Pasal 21 berisi: 'Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi'.

Sedangkan Pasal 22 ayat 1 menjelaskan sejauh mana peran serta masyarakat itu seperti: a. melaporkan pelanggaran undang-undang ini; b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan; c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pornografi; dan d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.

Pasal 22 ayat 2 menegaskan kembali kalau peran serta masyarakat tidak bisa lepas dari aturan hukum yang berlaku, 'Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan'.

Sementara Pasal 14 adalah pasal pengecualian, yaitu pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: seni dan budaya; adat istiadat; dan ritual tradisional.

Balkan kembali menegaskan, dalam pasal-pasal ini peran serta masyarakat memang ada, namun terbatas. Selebihnya, diserahkan ke polisi dan jaksa.Senin ini, pembahasan RUU Pornografi kembali dimulai dengan rapat pimpinan. Pada 10 Oktober dilanjutkan dengan rapat pansus mendengar laporan dari panitia kerja. Bagaimana soal FPDIP dan FPDS yang menyatakan lepas tangan di pembahasan di panja? ''Fraksi yang walkout akan kena tata tertib DPR Pasal 213 ayat 3. Dalam pasal itu, anggota yang meninggalkan sidang atau walkout dianggap telah hadir dan tidak memengaruhi sahnya keputusan,'' kata politisi Partai Demokrat ini.

Begitu juga soal usulan-usulan baru. FPDIP sebelumnya menyatakan ingin masuk kembali dan membawa materi baru ke draf RUU. Tapi, karena sebelumnya walkout, usulan kedua fraksi itu hanya ditampung. Naskah RUU Pornografi tidak mengalami perubahan, sesuai dengan naskah terakhir, 4 September. ''Kita sudah ambil keputusan di panja bahwa kita tetap berpedoman pada naskah draf 4 September," katanya. evy
(-)

http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/22/kat/33/news_id/6039

PORNOGRAFI MASIH MENGANCAM NEGARA KITA

Jawaban atas posting"RUU Pornografi masih mengancam negara kita"
http://radixwp.multiply.com/journal/item/11/RUU_Pornografi_Masih_Mengancam_Negara_Kita

Kepada Bung Radixwp

Menganggap RUU pornografi akan mengancam negara adalah suatu pernyataan yang terbalik dari fakta sebenarnya. Pornografi-lah yang akan mengancam negara ini. Norma, tradisi dan budaya masyarakat ketimuran secara jelas menganggap pornografi sebagai suatu yang tabu. Bila hal yang tabu dijadikan hal yang biasa sama saja dengan merusak sendi sendi norma budaya, tradisi dan tananan moral masyarakat, jadi sudah sangat jelas ancamannya bagi bangsa dan negara. Budaya ketimuran tentu saja tidak sama dengan budaya masyarakat barat. Tulisan Bung radixwp di berbagai alenia lebih disandarkan pada kecurigaan yang mendalam.

Di alenia kedua memuat pernyataan bahwa RUU pornografi adalah “bagian dari agenda formalisasi syariat Islam” itu sangat tendensius dan berpotensi mengadu domba antara islam dan non islam, mengingat pengaturan masalah pornografi tidak menjadi dominasi Islam semata, sehingga ketakutan akan islamisasi perundangan di Indonesia menjadi tidak beralasan, kecuali bila bung radix memang berpendapat bahwa hanya islam saja yang mengatur masalah pornografi. Bila anda menjadikan “sosok para perempuan yang berdemo mendukung RUU ini: semuanya mengenakan jilbab” sebagai alasan pernyataan tersebut, bukankah seharusnya anda malu karena sama sekali tidak melakukan apapun untuk upaya pengaturan pornografi di negeri ini, malah seenaknya mencap sebagai Islam fundamentalis. Lagipula perempuan yang mengusung pengesahan RUU ini tidak semuanya berjilbab.

Definisi anda tentang islam fundamentalis “Islam fundamentalis = org2 yg bernafsu menerapkan syariat Islam sbg hukum positif yg mengikat semua org (termasuk org yg tdk menyetujuinya”) maka seharusnya anda juga menyebut Negara sebagai fundamentalis, karena tidak semua warganegara menyetujui hukum Negara, tapi negara memaksa semua warganegara untuk mematuhinya, ? lalu para penentang pengesahan RUU pornografi juga fundamentalis karena mereka begitu benafsu untuk menentangnya menjadi hukum positif dengan berbagai cara (termasuk puluhan orang berdemo telanjang di DPR menolak RUU-Pornografi) ? Andapun begitu ngotot dengan konsep anda tentang pornografi, kalau sudah begitu; anda, saya dan kita semua adalah fundamentalis.

Judul tulisan anda "RUU Pornografi masih mengancam Negara" menjadi tak berarti sama sekali manakala membaca tulisan anda

“Mereka ini benar-benar orang-orang egois yang tidak mampu menghargai prinsip hidup orang lain. Apa yang mereka yakini baik, harus dianggap baik juga oleh semua orang lain. Apa yang mereka anggap buruk, mereka ingin ada aturan agar semua orang menjauhinya. Dan semua itu hanya berdasarkan dogma yang irasional, bukannya pertimbangan yang masuk akal”.

padahal di alenia sebelumnya anda mengindetikkan RUU-Pornografi ini dengan syariat islam, anda telah melakukan penghinaan langsung kepada syariat Islam yang di anut oleh 90% penduduk negeri ini. dan itu lebih berbahaya dari bahaya RUU yang anda takutkan, karena berpotensi memprovokasi kemarahan. (lagi lagi) kecuali bila anda tidak merasa menghina atau tidak bermaksud menghina walaupun anda telah melakukannya. Anda bebas memilih hidup anda tanpa agama sekalipun tapi tidak lantas bebas untuk menghina agama dan kepercayaan orang lain.

Bila anda menyebut pendukung pengesahan adalah orang egois tidak mampu mengargai prinsip hidup orang lain, sebaliknya andapun demikian. Bukankah dengan penyataan itu anda tidak menghargai prinsip hdup para pengusung RUU ini. Alih alih menghargai anda malah melakukan penghinaan.

Anda menuduh Sdr. Balkan Kaplale melakukan Falacy, sebenarnya andalah yang melakukan falacy dengan membesar besarkan isue penolakan RUU-Pornografi. Silahkan menghitung sendiri antara penentang & pendukung RUU Pornografi.

Sehubungan dengan kekhawatiran anda “Nah, sudahkah mereka membayangkan bahwa akan ada sepasang warga berhubungan seks di depan kamera video beserta para krunya, dengan mengandalkan surat izin dari pemerintah Republik Indonesia? Nanti bisa muncul istilah "bokep negeri") Itu benar benar sungguh terlalu. Bila undang undang psikotropika memungkinkan dunia kedokteran menggunakan narkotika tidak lantas berarti dokter bisa dengan seenaknya mengeluarkan resep untuk pembelian zat tersebut secara serampangan kepada pasiennya, bukan ?.
Bila aparat keamanan diperbolehkan oleh undang undang menggunakan senjata api, tidak lantas setiap individu aparat keamanan bisa dengan bebas memiliki dan menggunakannya, toh ?

Lagipula POLRI dan kejaksaan sudah menyatakan dukungannya untuk mengawal pelaksanaan RUU-Pornografi ini, jadi berilah kepercayaan kepada aparat negara kita jangan hanya memenuhi hati dengan rasa curiga berlebihan.

Lalu kekhawatiran akan pemberangusan karya seni dan tradisi masyarakat akibat pengesahan RUU tersebut, juga tidak beralasan, bukankah tradisi budaya dan seni sudah masuk dalam pengecualian dalam RUU ini. Lain hal bila yang anda maksud adalah kebebasan sebebas bebasnya bagi para seniman untuk berkarya seni berbau porno sehingga melanggar aturan lain yang berlaku, itu tidak lagi masuk dalam pembahasan RUU ini.

Lagipula aturan ketat untuk hal hal yang anda khawatirkan itu tadinya sudah di atur dengan apik dalam RUU-APP sebelumnya kemudian menuai protes termasuk dari anda sendiri lalu dirampingkan dan menjadi RUU-Pornografi saja seperti saat ini. Dan nyatanya andapun masih berkeberatan dengan membeberkan alasan yang sebenarnya sudah di akomodir oleh draf sebelumnya.

Bila memang RUU dianggap tidak akan mampu membendung segala bentuk pornografi artinya isi RUU memang harus direvisi, diperketat, ini sejalan dengan kritisi yang dilakukan oleh Hizbut tahrir Indonesia yang anda anggap sebagai suatu siasat belaka.

Usulan definisi porno yang anda kemukan dengan mengadopsi definisi porno dari negara maju bukan tanpa cela. Salah satu komen yang masuk dipostingan anda menolak RUU-Pornografi karena (katanya) berasal dari luar indonesia (arab) tapi anda malah mengajukan usulan yang terang terangan anda akui berasal dari luar negara. Lalu apa jaminan-nya bahwa definisi yang anda ajukan itu tidak akan menuai pro dan kontra ? dan apapula jaminannya bahwa definisi tersebut pasti sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia ?. Sudahkah anda sampaikan ke wakil anda di DPR ?

Usulan untuk mengoptimalkan segala perundangan yang sudah ada, sangat baik untuk di terapkan karena memang semua perundangan yang sudah ada harus di optimalkan. Akan tetapi meminta digagalkannya pengesahan RUU-Pornografi dan mengoptimalkan UU terkait yang sudah ada jelas tidak relefan. POLRI dan kejaksaan tentunya tidak akan mendukung pengesahan RUU ini menjadi undang undan bilamana UU yang sudah ada memang sudah cukup memadai untuk mengatur masalah pornografi.

Hukum dibuat memang bersifat memaksa dan seragam karena semua warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan.

Apapun masukan dan kritikan anda, akan lebih bermakna bila disampaikan dengan bahasa yang baik dan elegan. Atau langsung diarahkan ke gedung DPR kepada para wakil anda dengan segala aspirasi dan masukan anda. Kritikan di media terbuka dengan bahasa fulgar seperti yang anda lakukan akan sangat kontrapoduktiv. Karena anda telah melanggar kebebasan orang lain untuk terhindar dari penghinaan atas keyakinannya. Dan, sekali lagi itu lebih berbahaya bagi negara dibandingkan bahaya RUU pornografi yang anda takutkan.

Selasa, 07 Oktober 2008

Perdebatan RUU Pornografi sebuah Euporia Kebebasan ?

Wacana RUU pornografi yang semula bernama RUU-Anti pornografi dan anti pornoaksi (RUU-APP) bergulir kian kencang, dukungan dan penolakan dari beragam elemen masyarakat pun terus bergulir. Tak tanggung tanggung pejabat setingkat kepala propinsi pun turut menyemarakkan wacana ini. Tak dapat dipungkiri bahwa kita tidak akan menemukan fenomena seperti ini di era pemerintahan yang lalu [era sebelum reformasi] manakala semua-nya terkendali dari tampuk kekuasaan. Apakah ini hanya sebuah euporia kebebeasan ?

Dua kelompok masyarakat kini saling berhadapan diantara yang menginginkan RUU disyahkan menjadi UU dan kelompok yang samasekali tidak menginginkan RUU tersebut disyahkan karena dianggap tidak perlu dan beragam alasan lain-nya. Terlepas dari motif penolakan dan dukungan terhadap pengesahan RUU tersebut kita semua rakyat Indonesia patut bersyukur bahwa kita kini dapat menikmati suasana kebebasan mengemukaan pendapat dan fikiran tanpa takut akan tindakan refersif dari pemerintah. Suasana kondusif inilah yang harus senantiasa dijaga kelestariannya di Republik tercinta ini.

Kita semua sadar bahwa tidak mungkin satu produk hukum apapun yang dibuat akan dapat memuaskan semua kalangan. Karena memang aturan tidak dibuat untuk memuaskan semua pihak tapi dibuat dengan landasan pemikiran bagi kepentingan dan kemaslahatan bersama. Penolakan dan dukungan terhadap rancangan produk hukum adalah hal yang wajar, namun manakala diputuskan produk tersebut jadi diundangkan atau batal di undangkan adalah menjadi kewajiban semua pihak untuk mentaati ketetapan yang sudah diputuskan. Ketidaksetujuan terhadap suatu produk hukum yang mengikat tidak lantas membuat kita boleh melanggarnya. Itulah salah satu dari esensi demokrasi.

Memang akan sangat sulit menyatukan dua keinginan yang bertolak belakang, mengambil jalan tengah diantara keduanya juga bisa jadi malah menghasilkan keputusan yang ditolak oleh kedua belah pihak. Pada ahirnya keputusan berada di tangan wakil wakil kita yang kini duduk di parlemen bersama sama dengan pemerintah. Dengan semangat kebangsaan sepatutnya kita semua harus legowo untuk menerima dan melaksanakan apapun hasilnya setelah memberikan semua aspirasi terbaik kepada mereka.

Kita semua bebas mengekpresikan kebebasan kita menikmati iklim kemerdekaan bersuara yang sudah 10 tahun ini kita nikmati tapi satu hal yang harus kita camkan dalam hati bahwa kebebasan kita terbatasi oleh kebebesan individu yang lain untuk menikmati kebebasannya.

Semoga ramainya perdebatan seputar “RUU Panas” yang satu ini bukan sekedar euporia kebebasan tapi suatu penanda semakin akrabnya persaudaraan sesama warga negara yang menginginkan segala yang terbaik bagi negaranya.

Cikarang, 7 Oktober 2008